Kamis, 20 Agustus 2015

Antara Profesionalitas dan Idealisme Seorang Guru.


Matahari masih tenggelam dalam mendungnya awan. Meski sinarnya telah tampak menembus celah celah awan menghujam bumi. Angin semilir pagi menemani langkah seorang pemuda membangunkan kedua kelopak matanya. Hari ini terasa istimewa dengan dimulainya aktivitas baru. Iya, sebuah aktivitas baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya.
Pagi ini, pemuda itu akan memulai profesi barunya sebagai seorang Guru, J . sebuah perjalanan panjang sebelum akhirnya pemuda itu memutuskan terjun bebas dari dunia yang ia tekuni. Penantian satu tahun setelah seremonial di Gedung Putih Oranye mengakhiri masa masa kuliahnya. Pemuda itu butuh satu tahun lamanya untuk menjadi profesi yang “boleh dikata” sesuai dengan background gelar sarjananya. Meski sejatinya apapun “pekerjaan” yang ditekuni semuanya baik dan patut saja untuk dilakukan.
Perkenalan di akhir Apel pagi itu menjadi pembuka gerbang baru sebagai seorang Guru. Guru, siapa itu? Guru adalah seorang pendidik yang ada di kalangan lembaga pendidikan baik itu formal atau non-formal. Pendidik yang bertugas tidak hanya mengajar (transfer knowledge) tapi juga mendidik mengayomi mendampingi siswa-siswa nya. Jika dilihat dari tugasnya bukan hal mudah bukan? Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Karena pengalaman mengajarkan banyak hal apa yang harus dilakukan.
Iklim di lembaga pendidikan (sekolah) tentunya beda sangat dengan iklim kerja kantor kontraktor bank atau BUMN/S lainnya. Meski pada dasarnya harus sama sama memiliki etos kerja yang tinggi. Guru yang harus menyiapkan segala perangkat admnistrasi juga harus menyiapkan materi ajar. Eh, kok jadi melenceng ya? :D si Pemuda tadi malah dilupain bagaimana kisah kerja nya wkwwkwk :D.
Nah, ternyata dia (baca : pemuda) tak perlu membuat adimistrasi guru yang beribet ribet, :D hanya bertugas untuk mengajar. Enak toh, tapi bentar dulu lihat lah beban kerja yang harus Ia jalani. Beban kerja 28 jam pelajaran harus diselesaikan selama satu pekan (baca: senin-kamis). Kapasitas sebagai lulusan baru minim pengalaman ngajar di sekolah dan statusnya sebagai guru “baru” membuatnya bimbang tapi tak bisa mundur. Tanggungjawab ! .
Pengalaman belajar selama kuliah empat tahun sebenarnya cukup untuk mengajarkan materi kepada para siswa. Teori-teori pendidikan cara mengajar  selama kuliah rasanya cocok untuk diaplikasikan. Idealisme lulusan baru tampaknya jelas terlihat jelas. Tapi tapi tapi, lihatlah guru yang lain, ah rasanya tidak logis jika cara mengajar guru lain jadi alasan untuk tak berinovasi dalam pembelajaran. Tapi tapi tapi lihatlah mata pelajaran apa yang diamanahkan ke pemuda itu, Matematika mas, mba. Dengan beban kerja 28 jam pelajaran, dan lihatlah materi yang harus disampaikan (buanyyyaaaak pake banget) dan jadi galau lagi karena beberapa kelas hanya 2 jam pelajaran per pekan. Jadi jadi jadi apa yang harus dipilih siswa paham atau mengedapankan inovasi pembelajaran tanpa tahu apakah siswa itu akan paham atau tidak.
Pemuda itu pun memulai dunia barunya dengan bereksperimen guna melihat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Bagaimana kemampuan siswanya dan lingkungan kerja , beradaptasilah terlebih dahulu sebelum memasuki setiap celah di lingkungan kerja yang baru. Now, (baca:sekarang), telah 3 pekan pemuda telah menghabiskan waktunya guna mengajar. Kenapa pake kata “mengajar” karena kata “mendidik” belum pantas dicantumkan. Dan lihatlah, akhirnya pemuda itu realistis dengan keadaan yang ada, grade  yang terlalu tinggi mulai ia turunkan, inovasi pembelajaran sebuah teori selama kuliah cukup lah diganti dengan metode Ceramah-Interaktif yang penting siswa paham (dengan susah payah). Yes, inilah dunia kerja kawan, kadang idelisme harus diturunkan sedikit dan membangunnya sedikit demi sedikit jika kau telah tahu situasi dan keadaan dimana kau berada.
Manusia adalah makhluk biasa, tidak perlu munafik bahwa hidup itu juga butuh yang namanya “uang”. Beban kerja yang begitu banyak menuntut pemuda itu untuk selalu mengajar optimal setiap masuk kelas, mengeluarkan segala kemampuan terbaiknya dalam mengajar. Bagi penulis itulah yang namanya profesionalitas, tapi sampai kapan profesionalan akan bertahan, mengapa demikian? Karena profesionlitas akan terhadang sama tembok besar bernama “income” yang kau peroleh. Bagaimana bisa? Lihatlah banyak guru di sekolah negeri maupun swasta yang berstatus GTT (guru tidak tetap) menyabang-nyabang ke sekolah lain demi kecukupan hidupnya. Profesionalitas bagi saya adalah bagian fokus pada satu hal memperbaiki dan terus memperbaiki keadaan yang ada. Tidak perlu munafik pula, karena itulah hal yang lumrah di negara kita ini, guru saling menyabang ke satu sekolah dengan sekolah lain, itu baik.
Lalu bagaimana Profesionalitas dan Idealisme bertahan ditengah hiruk pikuk dunia kerja yang begitu gitu nya, sampai Kapan kau menjaga Idealisme dan profesionlitas itu kawan, . Jawab lah sampai kapan pun kita akan bertahan dengan idealisme dan sifat profesionalan memberikan yang terbaik bagi para siswa siswi kita generasi terbaik bangsa. Guru itu digugu dan ditiru, siapapun kau entah dosen, doktor, guru besar, professor , bagi saya kalian tetaplah sama seorang GURU.
Dan untuk kawan-kawan guru, kalimat penutup dari artikel ini : Jadilah sahabat dan orangtua yang baik bagi siswa siswi kita.  

Tambah Pengalaman (Latihan Soal)

Sobat fisika, seperti yang dijanjikan pada postingan sebelumnya , bahwa pada postingan ini sobat fisika belajar menemukan solusi dari sebu...