Hormat pada Bendera
Terjemah
sebuah Hadits
“Diriwayatkan
dari Anas bin Malik ra, ia berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Zaed
membawa bendera, namun kemudian ia terluka. Ja’far lalu mengambilnya, namun
kemudian ia terluka. Abdullah bin Rawahah lalu mengambilnya dan kemudian juga
terluka. Sesungguhnya kedua mata Rasul meneteskan air mata, tanpa ada perintah
Khalid bin Walid kemudian mengambil bendera itu, akhirnya ia mendapatkan
kemenangan.” (HR. Bukhari)
Fiqh
al Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada kitab
shahihnya pada hadits nomor: 1246. Kitab al Janaiz, bab al Rajul Yan’a ila ahli al mayyit binafsihi. Hadits ini bercerita
tentang penghormatan bendera yang terjadi pada masa nabi Muhammad saw. Ketika
seseorang yang ditugasi membawa bendera terluka, sehingga ia tidak bisa menunaikan
tugasnya untuk membawa bendera dengan baik, maka sahabat lain segera
menggantikan posisi orang yang terluka tersebut.
Muhammad Said al Bugha seorang ulama Syuria
menjelaskan bahwa hadits ini bercerita tentang peristiwa penghormatan bendera
yang dilakukan oleh para sahabat pada perang Mu’tah.
Mengapa para sahabat begitu gigih mempertahankan
bendera mereka? Bukankah bendera hanya sepotong kain dengan warna tertentu?
Apakah sikap sahabat ini tidak berlebihan, karena mereka telah mengkultuskan
sebuah kain. Apakah mereka tidak tahu bahwa pengkultusan terhadap segala
sesuatu selain Allah adalah tindakan syirik yang merupakan dosa besar yang
tidak pernah diampuni oleh Allah SWT.
Sahabat adalah orang yang dekat dengan Nabi,
tentunya mereka sangat tahu tentang syirik. Kalau penghormatan terhadap bendera
itu merupakan perbuatan syirik, tentunya mereka adalah orang-orang pertama yang
meninggalkannya.
Segala sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya.
Meskipun bendera hanya sebuah kain, namun bendera merupakan simbol eksistensi
suatu komunitas. Ketika bendera suatu komunitas itu masih berkibar, itu artinya
komunitas itu masih eksis. Ketika bendera itu sudah tidak lagi berkibar, itu
berarti bahwa komunitas itu sudah tidak eksis.
Logika ini sudah menjadi logika umum, termasuk
didalamnya para sahabat yang mati-matian mempertahankan bendera sebagaimana
dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Logika mereka sama,
ketika bendera mereka berkibar, itu artinya mereka masih eksis.
Selain diposisikan sebagai simbol suatu komunitas,
bendera juga diposisikan sebagai media pemersatu. Logika yang sama juga terjadi
pada masa nabi. Pada zaman nabi ada bendera yang ukurannya kecil. Bendera ini
biasanya dipasang di ujung tombak. Bendera ini dibawa oleh semacam komandan
pleton, dimana masing-masing pleton punya bendera kecil yang berbeda-beda.
Bendera kecil ini disebut dengan liwa’.
Selain bendera yang ukurannya kecil, juga dikenal
bendera yang ukurannya besar. Bendera ini dikenal dengan istilah rayah. Bendera ini tidak dibawa oleh
pasukan, akan tetapi ditancapkan pada suatu tempat, dan dibiarkan berkibar
diterjang oleh angin.
Logika yang sama juga disampaikan oleh lembaga fatwa
Mesir yang membolehkan upacara bendera. Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa
penghormatan terhadap bendera yang diiringi dengan lagu kebangsaan dan
memberikan isyarat dengan tangan merupakan tanda loyalitas pada negara,
menyatukan garis komando dan menghidupkan semangat bela Negara. Ini semua tidak
masuk dalam konteks ibadah, tidak ada sholat dan dzikir di dalamnya sehingga
ini semua tidak bisa disebut bid’ah
atau ibadah pada Allah SWT.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh ulama Saudi
seperti Abdullah bin Baz, dalam Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Riset Fatwa
(Lajnah ad Daimah li al Buhuts al
‘Ilmiyyah wa al Ifta). Mereka berpendapat bahwa penghormatan terhadap
bendera dengan menyanyikan lagu kebangsaan hukumnya haram. Pendapat mereka ini
yang dijadikan dasar oleh mereka yang menamakan dirinya sebagai kelompok salafi
di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mana yang benar, Allahu
A’lam, yang jelas mereka yang melakukan upacara bendera yang dituduh telah
melakukan perbuatan bid’ah dan syirik memiliki argumennya sendiri, dan argumen
itu bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki dasar yang kuat dari Qur’an maupun
sunnah.
Tulisan ini, bukan dimaksudkan untuk memperuncing
perbedaan pendapat, akan tetapi dimaksudkan untuk memberikan keyakinan pada
mereka yang terbiasa dengan upacara bendera, bahwa aktivitas mereka bukanlah
perbuatan yang menyimpang dari agama.
Ditulis oleh H Amin Handoyo, Lc dalam Majalah
Rindang Edisi No. 01 Th. XXXVII Ramadhan 1432 H/Agustus 2011 halaman 43-44
tanpa perubahan.