Jumat, 02 Maret 2012

Hormat Pada Bendera


Hormat pada Bendera
Terjemah sebuah Hadits
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Zaed membawa bendera, namun kemudian ia terluka. Ja’far lalu mengambilnya, namun kemudian ia terluka. Abdullah bin Rawahah lalu mengambilnya dan kemudian juga terluka. Sesungguhnya kedua mata Rasul meneteskan air mata, tanpa ada perintah Khalid bin Walid kemudian mengambil bendera itu, akhirnya ia mendapatkan kemenangan.” (HR. Bukhari)
Fiqh al Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada kitab shahihnya pada hadits nomor: 1246. Kitab al Janaiz, bab al Rajul Yan’a ila ahli al mayyit binafsihi. Hadits ini bercerita tentang penghormatan bendera yang terjadi pada masa nabi Muhammad saw. Ketika seseorang yang ditugasi membawa bendera terluka, sehingga ia tidak bisa menunaikan tugasnya untuk membawa bendera dengan baik, maka sahabat lain segera menggantikan posisi orang yang terluka tersebut.
Muhammad Said al Bugha seorang ulama Syuria menjelaskan bahwa hadits ini bercerita tentang peristiwa penghormatan bendera yang dilakukan oleh para sahabat pada perang Mu’tah.
Mengapa para sahabat begitu gigih mempertahankan bendera mereka? Bukankah bendera hanya sepotong kain dengan warna tertentu? Apakah sikap sahabat ini tidak berlebihan, karena mereka telah mengkultuskan sebuah kain. Apakah mereka tidak tahu bahwa pengkultusan terhadap segala sesuatu selain Allah adalah tindakan syirik yang merupakan dosa besar yang tidak pernah diampuni oleh Allah SWT.
Sahabat adalah orang yang dekat dengan Nabi, tentunya mereka sangat tahu tentang syirik. Kalau penghormatan terhadap bendera itu merupakan perbuatan syirik, tentunya mereka adalah orang-orang pertama yang meninggalkannya.
Segala sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya. Meskipun bendera hanya sebuah kain, namun bendera merupakan simbol eksistensi suatu komunitas. Ketika bendera suatu komunitas itu masih berkibar, itu artinya komunitas itu masih eksis. Ketika bendera itu sudah tidak lagi berkibar, itu berarti bahwa komunitas itu sudah tidak eksis.
Logika ini sudah menjadi logika umum, termasuk didalamnya para sahabat yang mati-matian mempertahankan bendera sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Bukhari di atas. Logika mereka sama, ketika bendera mereka berkibar, itu artinya mereka masih eksis.
Selain diposisikan sebagai simbol suatu komunitas, bendera juga diposisikan sebagai media pemersatu. Logika yang sama juga terjadi pada masa nabi. Pada zaman nabi ada bendera yang ukurannya kecil. Bendera ini biasanya dipasang di ujung tombak. Bendera ini dibawa oleh semacam komandan pleton, dimana masing-masing pleton punya bendera kecil yang berbeda-beda. Bendera kecil ini disebut dengan liwa’.
Selain bendera yang ukurannya kecil, juga dikenal bendera yang ukurannya besar. Bendera ini dikenal dengan istilah rayah. Bendera ini tidak dibawa oleh pasukan, akan tetapi ditancapkan pada suatu tempat, dan dibiarkan berkibar diterjang oleh angin.
Logika yang sama juga disampaikan oleh lembaga fatwa Mesir yang membolehkan upacara bendera. Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa penghormatan terhadap bendera yang diiringi dengan lagu kebangsaan dan memberikan isyarat dengan tangan merupakan tanda loyalitas pada negara, menyatukan garis komando dan menghidupkan semangat bela Negara. Ini semua tidak masuk dalam konteks ibadah, tidak ada sholat dan dzikir di dalamnya sehingga ini semua tidak bisa disebut bid’ah atau ibadah pada Allah SWT.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh ulama Saudi seperti Abdullah bin Baz, dalam Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Riset Fatwa (Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta). Mereka berpendapat bahwa penghormatan terhadap bendera dengan menyanyikan lagu kebangsaan hukumnya haram. Pendapat mereka ini yang dijadikan dasar oleh mereka yang menamakan dirinya sebagai kelompok salafi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mana yang benar, Allahu A’lam, yang jelas mereka yang melakukan upacara bendera yang dituduh telah melakukan perbuatan bid’ah dan syirik memiliki argumennya sendiri, dan argumen itu bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki dasar yang kuat dari Qur’an maupun sunnah.
Tulisan ini, bukan dimaksudkan untuk memperuncing perbedaan pendapat, akan tetapi dimaksudkan untuk memberikan keyakinan pada mereka yang terbiasa dengan upacara bendera, bahwa aktivitas mereka bukanlah perbuatan yang menyimpang dari agama.

Ditulis oleh H Amin Handoyo, Lc dalam Majalah Rindang Edisi No. 01 Th. XXXVII Ramadhan 1432 H/Agustus 2011 halaman 43-44 tanpa perubahan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambah Pengalaman (Latihan Soal)

Sobat fisika, seperti yang dijanjikan pada postingan sebelumnya , bahwa pada postingan ini sobat fisika belajar menemukan solusi dari sebu...